Sabtu, 11 September 2021 , Museum Kebangkitan Nasional Jakarta menggandeng AGSI (Asosiasi Guru Sejarah Indonesia) untuk menggelar seminar nasional yang bertajuk “Makna Kebangkitan Nasional Bagi Kemerdekaan Indonesia”. Seminar itu membidik refleksi kebangkitan nasional dari perspektif guru sejarah, sejarawan, budayawan dan anak milenial.
Pustanto, MM selaku Plt Museum Kebangkitan Nasional berujar bahwa kerja sama dengan AGSI ini diharapkan bukan yang pertama dan terakhir tetapi akan terus berlanjut pada masa-masa yang akan datang dengan duduk bersama membicarakan sejarah untuk menghantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang sadar sejarah. Seminar ini diharapkan mendapatkan hal-hal dan wawasan yang baru yang dapat memperkuat integrasi bangsa sebagaimana cita-cita dan semangat kebangkitan nasional
Sementara itu Lilik Suharmaji, selaku pemandu acara itu mengatakan bahwa apabila ada kebangkitan nasional tentunya ada kebangkitan daerah. Para pemuda sebagai pendiri organisasi modern pertama Budi Utomo pada 1908, sebenarnya terinspirasi dengan sejarah bangkitnya kesadaran anti penjajah kolonial sebagai kebangkitan daerah. Banyak daerah-daerah sebelum tahun 1908 yang bergerak dengan semangat anti kolonial misalnya pemberontakan Raden Ronggo Prawirodirjo III, seorang Bupati Wedono di Madiun yang membawahi 14 bupati di Mancanegara Timur wilayah Kesultanan Yogyakarta. Dia adalah menantu sekaligus panglima perang Sultan Hamengku Buwono II yang anti kolonialisme Belanda di bawah Daendels.
Ronggo III bertekad untuk mengusir Daendels dari tanah Jawa dan jika perlu dia ingin mati bersama Daendels. Perlawanan dilatarbelakangi karena keserakahan Dendels merebut kayu-kayi Jati di Mancanegara Timur dan penindasan Daendels terhadap rakyat. Akhirnya Ronggo III gugur dan dimakamkan di Banyusumurup tempat makam orang-orang yang dianggap pemberontak dan penjahat Mataram. Karena kebaikan hati Sultan Hamengku Buwono IX yang sadar sejarah dan menghormati leluhurnya maka pada tahun 1957 kerangka jazad Ronggo III dipindahkan dari makam Banyusumurup ke Magetan bersanding dengan permaisurinya Ratu Maduretna di puncak Gunung Giripurno Magetan Jawa Timur. Sultan kesembilan yang patut menjadi teladan anak muda karena nilai-nilai kejuangan dan karakternya itu kemudian menganugerahi Ronggo III sebagai pejuang perintis kemerdekaan melawan kolonial Belanda. Kisah-kisah kebangkitan di daerah-daerah itulah yang menginspirasi anak-anak muda di STOVIA, untuk bangkit secara nasional, tandas Lilik.
Sumardiansyah Perdana Kusuma dalam sambutannya mengatakan bahwa kita tidak perlu yang aneh-aneh dalam mendidik para siswa. Teknologi informasi penting, tetapi pembelajaran sejarah harus menekankan ketrampilan berfikir sejarah dan mengedepankan riset. Presiden AGSI yang sering disapa Mas Rian itu menambahkan ada tiga kemampuan yang bernilai fundamental serta penting dalam memajukan kehidupan bangsa indonesia ini yaitu pertama tradisi membaca. Dengan membaca maka pengetahuan dapat diserap, kedua menulis. Banyak tokoh-tokoh bangsa seperti Sukarno, Ki Hajar Dewantara menulis untuk menyuarakan pikiran dan hatinya menuju Indonesia lepas dari kolonialisme. Ketiga, tradisi orasi. Pemikiran dan hati seseorang untuk dipahami orang lain harus dibarengi dengan kemampuan orasi atau berbicara dengan baik sehingga dengan ketrampilan itu maka generasi muda akan dapat menyampaikan ide-idenya sebagaimna Sukarno menyampaikan idenya untuk kemerdekaan bangsanya.
Pembicara lain Bonnie Triyana, mengatakan bahwa sejarawan atau guru sejarah mempunyai kewajiban menyampaikan sejarah bangsanya. Jika yang kita sampaikan berupa arsip-arsip, dokumen-dokumen dan buku-buku tebal tentunya akan sulit digemari dan dipahami generasi muda. Untuk itulah diperlukan cara yang lebih familier dengan mereka seperti yang dilakukan majalah Historia. ID dengan menerjemahkan lewat komik, grafis, dokumen menarik, dan narasi yang populer dan menarik.
Bonnie yang sekarang sebagai Pemred majalah Historia. ID itu menegaskan bahwa “sebenarnya tidak ada orang Indonesia yang asli, yang ada adalah orang Indonesia dan bukan orang Indonesia. Untuk itulah kami membuat riset tes DNA untuk mengetahui dari mana asal-usul seseorang. Dalam tes DNA itu yang kami jadikan sampel dari mulai pedagang gorengan sampai orang terkenal seperti penyanyi Ariel Noah. Kesimpulan yang kami dapat bahwa orang Indonesia asal-usulnya dari berbagai ras dan tidak ada orang Indonesia asli atau pribumi,” tandas Bonnie.
Bonnie berpesan bahwa kita dalam mengajar sejarah tidak boleh memaksa siswa agar mereka kelak menjadi sejarawan, atau guru sejarah tetapi kita mengajarkan sejarah pada generasi muda agar mereka mampu berfikir kritis karena jika mereka menjadi dokter maka kelak mereka akan menjadi dokter yang kritis, jika mereka menjadi apapun profesinya mereka sudah terlatih berfikir secara kritis.
Sementara pembicara lain Susanto Yunus Alfian mengatakan dalam menerapkan pembelajaran dengan metode Historical Thinking Skill dilakukan dengan cara pertama mengidentifikasi kisah sejarah atau benda-benda sejarah. Kedua, menggunakan metode kontekstualisasi, ketiga menggunakan prinsip koorporasi dari peristiwa sejarah itu dan keempat mengenali produk-produk dari sejarah.
Zastrow Al Ngatawi, mantan ajudan Gusdur yang kali ini mewakili budayawan mengatakan bahwa lahirnya Indonesia sebagai negara republik memang sudah diramalkan oleh ulama Aceh pada tahun 1871. Ulama itu mengatakan bahwa besuk akan berdiri sebuah negara “Al-Jumriyah al Indonesia (Republik Indonesia). Dari situlah menurut Zastraw muncul terbentuknya nasionalisme karena sudah menyebut nama Indonesia sebagai kesadaran nasional yang semakin meluas. Zastraw juga menegaskan bahwa kebangsaan anak-anak muda di STOVIA terbagun oleh gerakan-gerakan nasionalisme di Eropa dan sejarah kebangkitan di daerah-daerah yang anti penjajah hanya saja mereka belum bergerak secara nasional.
Sedangkan dalam mengakhiri diskusi, Virdika Rizky Utama yang mewakili generasi milenial menandaskan bahwa anak-anak muda sekarang lebih suka berorganisasi secara non formal bukan berorganisaisi seperti LSM atau organisasi berbau politik lainnya. Mereka sebenarnya tidak suka dengan orang tua yang senang menggembar-gemborkan persatuan bangsa tetapi tidak konsisten karena orang-orang tua itu lebih suka mengembangkan budaya sektarian, politik aliran dan suka korupsi. Untuk itulah anak muda tidak suka berpolitik karena bagi mereka masih menganggap politik itu kotor dan menjijikkan dengan berbagai intrik-intrik yang kadang keluar nari-nilai dan norma yang ada.
Anak muda sekarang bukan hanya sebagai penggerak tetapi juga sebagai penentu masa depan bangsa. Orang tua yang tidak peduli dengan isyu-isyu iklim, pemanasan global dan dan isyu lingkungan lainnya justru anak muda lebih peka dan peduli dengan lingkungannya. Virdika menegaskan bahwa anak muda sekarang masih peduli dengan sejarah bahkan sekarang anak muda membuat sejarahnya sendiri agar bangsa ini semakin lebih baik.