Seminar 68 Tahun Mosi Integral Natsir
Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Sumardiansyah Perdana Kusuma menyatakan tokoh Natsir sangat patut diteladani generasi masa kini. “Jika dilihat dari sisi pendidikan, Natsir adalah sosok yang multidimensional. Natsir mampu mengelaborasi beberapa definisi yang di masa sekarang seolah dipertentangkan. Menariknya definisi-definisi itu justru melekat secara seimbang dalam dirinya. Ia adalah sosok yang nasionalis juga religius, politisi juga negarawan, serta ulama juga cendikiawan. Di tengah krisis keteladanan dan kemungkinan perpecahan bangsa saat ini, maka keteladanan Natsir dan urgensi Mosi Integral mutlak diwariskan kepada generasi muda” kata Sumardiansyah. Narasi-narasi tersebut, tambahnya, perlu dijelaskan lebih jauh dalam buku teks Sejarah Indonesia dan dipertegas oleh guru sejarah di ruang-ruang kelas.
“Sejarah adalah sebuah perjalanan kisah masa lalu yang sangat panjang dan berliku. Penafsiran atas masa lalu seringkali menimbulkan polemik di dalamnya. Terlepas dari berbagai pendapat mengenai sosok Mr. Muhammad Natsir, nyatanya beliau adalah salah satu putera terbaik, yang cinta terhadap bangsa dan negaranya, founding father, dan juga Pahlawan Nasional” tegas Sumardiansyah.
Hal tersebut disampaikannya pada “Seminar 68 Tahun Mosi Integral NKRI Mr. Muhammad Natsir”, Selasa, (10/4) di Museum Perumusan Teks Proklamasi, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat. Selain Presiden AGSI, kegiatan yang digelar oleh Komunitas ORASI 86 dan Syarikat Buruh Islam Indonesia (SBII) itu juga menghadirkan narasumber Wakil Ketua DPR RI yang juga sejarawan Fadli Zon, Peneliti LIPI Dwi Purwoko, serta sejarawan Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso.
Dalam materinya, Fadli Zon yang menjadi keynote speaker seminar menjelaskan bahwa sejarah perjalanan bangsa pasca kemerdekaan ketika itu terjadi pergolakan di berbagai daerah. Konsep Negara RIS yang disepakati antara Indonesia-Belanda dalam KMB ditenggarai sebagai strategi Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia. “Akhirnya 3 April 1950 Natsir mengeluarkan Mosi Integral agar kembali kepada NKRI. Karena itulah sangat pantas rasanya jika setiap tanggal 3 April kita peringati sebagai hari NKRI”, ujar Fadli. Fadli juga menambahkan bahwa Islam bukan sekedar agama, ia adalah satu set peradaban yang utuh. Islam digunakan sebagai alat perjuangan yang menginspirasi dan memobilisasi.
Adapun Dwi Purwoko melihat, meskipun identik dengan pemikiran Islam dan Masyumi, namun Natsir mampu membina hubungan harmonis dengan kelompok lainnya. “Itu bisa dilihat melalui jalinan persahabatan beliau dengan I.J. Kasimo, tokoh dari Partai Katolik Indonesia. Keberadaan Natsir juga menguatkan pandangan bahwa antara Islam dan Nasionalisme tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pancasila selaras dengan ajaran Islam, hal itu tentu sudah melalui berbagai pertimbangan yang mendalam dari para tokoh pendiri Republik ini” ujar Dwi.
Sementara itu, Bondan Kanumoyoso melihat paling tidak ada dua peristiwa penting dalam menegaskan posisi kita sebagai NKRI, yaitu Mosi Integral 3 April 1950 dan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. “Melihat dinamika yang terjadi pada periode 1945-1950, bisa dikatakan NKRI adalah cita-cita yang diinginkan oleh sebagian besar masyarakat, dan Natsir berhasil menyerap aspirasi tersebut, untuk kemudian dituangkan dalam Mosi Integral. Sejak semula Natsir selalu memperjuangkan perubahan dengan cara-cara yang konstitusional” ungkap Bondan. (HP)
###