Dilema Guru PPPK, CPNS, dan LPTK

Oleh Sumardiansyah Perdana Kusuma

Walaupun urung terealisasi, niatan Pemerintah menjadikan Guru sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan menghilangkan rekruitmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) secara permanen adalah signal bahwa pemerintah lebih mengedepankan pendekatan komersialisasi ketimbang pendekatan humanis.

Pengelolaan Guru jangan disamakan dengan pengelolaan dunia industry yang mengedepankan untung rugi dalam neraca modal. Seharusnya Pengelolaan Guru dilandasi oleh satu pandangan bahwa Pendidikan adalah kebutuhan mendasar. Ada dimensi historis, sosiologis, kultural, intelektual, moral, dan spiritual yang melekat didalamnya. Pilihan menjadi guru erat kaitannya dengan panggilan jiwa. Guru adalah profesi mulia dan terhormat.

PPPK dan CPNS dari sisi rekruitmen guru merupakan dua hal yang berbeda. Kalau kita ingat latar belakang PPPK adalah untuk menyelesaikan persoalan guru honorer agar mendapatkan kesejahteraan, perlindungan, dan pengembangan karir yang layak dari pemerintah.

Program ini semula dikhususkan bagi guru honorer yang berusia diatas 35 tahun agar bisa menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Sedangkan CPNS tetap dibuka bagi lulusan LPTK dan guru-guru yang berusia dibawah 35 tahun.

Namun sepertinya arah PPPK sudah bergeser ketika pemerintah membuka seleksi PPPK bukan hanya bagi guru honorer diatas 35 tahun, tetapi juga bagi fresh graduate dan guru-guru lain dibawah usia 35 tahun agar ikut program yang disebut rekruitmen 1 juta guru.

Implementasi PPPK seharusnya lex spesialis (bersifat khusus) serta dibangun dari basis data nasional yang akurat dan spesifik mulai dari jumlah keseluruhan, status kepegawaian, tingkatan usia, jenis kelamin, jenjang mengajar, bidang studi yang diampu, kepemilikan sertifikat pendidik, hingga lama mengabdi. Sangat tepat jika sementara waktu pemerintah membuka rekruitmen PPPK hanya terbatas bagi guru honorer diatas 35 tahun.

Alangkah bijaksana jika pemerintah selain menggunakan jalur tes objektif, juga mempertimbangkan penilaian afirmatif berdasarkan pengabdian, penilaian kinerja, dan portofolio, terutama bagi guru honorer yang mengabdi lebih dari 10 tahun dan/atau memiliki sertifikat pendidik.

Jika pemerintah konsisten membuka PPPK sebagai pintu masuk khusus bagi guru honorer, berpijak pada dapodik, dengan memberikan berbagai pertimbangan humanis, maka bisa dipastikan dalam waktu yang tidak terlalu lama persoalan guru honorer bisa terselesaikan.

Di sisi lain rekruitmen CPNS perlu disempurnakan agar mampu menjaring guru berdedikasi, profesional, dan berusia produktif dibawah 35 tahun. Sama seperti PPPK, rekruitmen CPNS bagi guru harus diberlakukan lex spesialis, selain dibuka seleksi jalur umum, diperlukan juga seleksi jalur khusus dengan beberapa kategori antara lain: (1) Jalur khusus bagi guru yang mengabdi di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar; (2) Jalur khusus bagi guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik; (3) Jalur prestasi bagi guru atau calon guru yang memiliki ijazah kependidikan dengan predikat cum laude.

Guru Berangkat dari LPTK

Perjalanan guru dimulai dari ruang kelas yang mengajarkan berbagai ilmu tentang keguruan. Inilah Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai kawah candradimuka guru dalam berproses menjadi guru yang sebenar-benarnya guru, yaitu guru profesional yang siap mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik di sekolah. Kriteria profesional secara substansial adalah: (1) Guru mampu merencanakan, melaksanakan pembelajaran, dan mengevaluasi peserta didik; (2) Guru memiliki kepribadian yang baik dan mampu menjadi teladan; (3) Guru mampu berkomunikasi secara baik dengan peserta didik, orang tua, masyarakat, sesama pendidik dan tenaga kependidikan; (4) Guru memiliki kemampuan intelektual dan sesuai dengan bidang ilmu yang diampunya. Sedangkan kriteria profesional secara formal adalah guru memiliki sertifikat pendidik lewat jalur pendidikan profesi guru.

Agak mengherankan ketika melihat LPTK dewasa ini seolah tidak memiliki kekhususan sebagai lembaga yang menyiapkan calon guru. Sebuah ironi ketika lulusan LPTK yang diharapkan menjadi guru profesional, namun setelah lulus justru belum bisa disebut sebagai guru profesional. Pembelajaran tentang keguruan yang diberikan secara khusus dan spesifik selama 8 semester atau 4 tahun seolah menjadi tidak relevan bagi pengembangan karir mereka sebagai guru.

Untuk menjadi guru profesional dan mendapatkan sertifikat pendidik mereka masih harus mengikuti jalur Pendidikan Profesi Guru (PPG) selama setahun yang prosesnya terbuka juga bagi lulusan ilmu lain diluar kependidikan. Selain itu penyelenggara PPG notabenenya adalah LPTK yang sebelumnya juga sudah menyelenggarakan pendidikan bagi para mahasiswa calon guru, dan kini kembali menjalankan program pendidikan bagi para calon guru (profesional).

Bisa dilihat ada ambiguitas disini. Seharusnya di LPTK, PPG dirancang terintegrasi sebagai bagian dari paket kurikulum yang wajib ditempuh dalam pendidikan guru, walaupun konsekuensinya jumlah Sistem Kredit Semester (SKS) dan masa yang diperlukan bagi mahasiswa calon guru dalam menyelesaikan  studi hingga mendapat predikat calon guru profesional memakan waktu yang lebih lama.

Jika PPG dilihat sebagai pendidikan profesi yang berbeda dengan pendidikan guru secara umum bagi mahasiswa calon guru, maka di LPTK pemerintah perlu menciptakan pola keberlanjutan, sebelum lulus sarjana, mahasiswa calon guru diberikan fasilitas untuk bisa memilih apakah ilmu pendidikan yang diperoleh cukup dari pendidikan umum atau langsung melanjutkan ke pendidikan profesi sesuai bidang ilmu di LPTK tempatnya bernaung selama ini.

Sehingga kalaupun lulusan LPTK tidak serta merta menjadi guru profesional sebelum mengikuti pendidikan profesi dan mendapatkan sertifikat pendidik, setidaknya bagi mereka akses menjadi guru profesional terbuka lebar dalam sistem yang terintegrasi dan berkelanjutan sebagai kekhususan bagi mereka yang menaruh minat lalu memutuskan menjadi guru lewat jalur akademik dengan mengambil pendidikan guru di LPTK.

Dari sini kita bisa bercermin bahwasanya salah satu akar persoalan dari tata kelola yang berkaitan langsung dengan profesionalisme guru adalah LPTK sebagai rumah besar yang mencetak guru sekarang ini kelihatan masih galau menempatkan diri antara pendidikan guru, pendidikan profesi guru, ataukah keduanya?

Author: Admin AGSI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *