TENTANG IDENTITAS SEBUAH BANGSA

M. Hari Efendi

M. Hari Efendi

Oleh: M. Hari Efendi, S.Pd

Guru Sejarah SMAN 8 Malang

Beberapa hari yang lalu, Penulis mendapat share link dari teman mengenai tulisan dari Peter Carey yang menanggapi artikel dari Anthony Reid yang dimuat pada Majalah Tempo Edisi 14-20 November Tahun 2011, halaman 94-95. Peter Carey mendeskripsikan dengan sangat gamblang mengenai dampak dari sebuah bangsa seandainya tidak mengenal sejarah sendiri. Ia mengutip kalimat Anthony Reid sebagai berikut :

“Walaupun semakin banyak orang Indonesia belajar di luar negeri, mereka yang ada di bidang ilmu sosial menulis hampir secara eksklusif tentang negaranya sendiri, Indonesia. Hanya tinggal segelintir ilmuwan di universitas internasional di Indonesia yang meneliti dan mengajar tentang negara selain Indonesia. Namun hampir 90% karya tertulis tentang Indonesia di jurnal-jurnal akademis internasional ditulis oleh orang yang tidak tinggal di Indonesia – sesuatu yang membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang paling tidak efektif di dunia dalam menjelaskan dirinya kepada dunia” (Anthony Reid, Indonesia dan Dunia Sesudah 66 Tahun, Tempo Edisi 14 – 20 November 2011, hal 94-95).

Peter Carey dengan cukup lugas mendeskripsikan mengenai dampak dari permasalahan tersebut, yang mungkin dapat dipahami secara menyeluruh dari semua tulisannya. Bahkan dalam artikelnya, ia mencontohkan bagaimana Syahrir mewakili Indonesia dalam sidang internasional PBB menjelaskan siapakah Indonesia itu. Syahrir dengan berani dan tegas memberikan jawaban dengan berpedoman pada Sriwijaya dan Majapahit, yang membuat PBB pada akhirnya mengakui keberadaan negara baru, yakni Indonesia. Lalu bagimana nasib negeri ini, seandainya saat itu, Syahrir tidak mengetahui sejarah bangsa Indonesia? Mungkin kita belum terbentuk hingga sekarang.

Selama ini, dalam forum-forum resmi maupun tidak resmi, seringkali muncul SLOGAN, mengenai pentingnya sejarah. Dan apa jadinya sebuah bangsa jika tidak mengenal sejarah. Sebagaimana yang namanya slogan, sering kali tidak terdapat hal greget dari yang diutarakan (slogan), sering kali hanya sedetik didengar, lalu lenyap seiring kedipan mata.

Slogan memang diperlukan, namun slogan seperti apa yang mengena pada masyarakat??? Mungkin butuh kuliah khusus mengenai kesastraan, bagaimana membuat slogan yang membuat kita lebih greget, dengan penyusunan kalimat yang berani dan membuat hati ini tergerak untuk mengikuti slogan tersebut.

Indonesia sedang gonjang-ganjing mengenai beberapa mata pelajaran yang sedang disederhanakan. Salah satunya yang terdampak adalah Mata Pelajaran Sejarah. Kurikulum 2013 menempatkan sejarah sebagai Mata Pelajaran Wajib, namun di draft rahasia kurikulum yang sudah tidak menjadi rahasia lagi, sedang dirancang untuk direvisi, dan Sejarah dimunculkan sebagai Mata Pelajaran Pilihan, artinya Pelajar Menengah tidak menerima Pelajaran Sejarah secara menyeluruh, hanya sebagian yang akan menerima mapel sejarah Indonesia. Siswa dapat mempelajari Sejarah bangsa sendiri, dan siswa juga dapat “TIDAK MEMEPELAJARI SEJARAH” bangsa sendiri.

Apa yang menarik yang menjadi perbincangan saat ini jika ditarik benang merah dengan yang disampaikan oleh Peter Carey (berdasarkan artikel Anthony Reid diatas). Peter menyampaikan, jika data menurut Anthony benar, maka mayoritas penduduk bangsa ini adalah GOLONGAN orang yang minder dengan bangsanya sendiri, Indonesia. Negara kita, didominasi oleh masyarakat yang tidak memiliki kepedean (kepercayaan diri) untuk mengakui secara internasional, bahwa SAYA ADALAH ORANG INDONESIA.

Ketidak percayaan diri kepada bangsa sendiri ini adalah salah satu bukti bahwa proses penanaman identitas bangsa kepada seluruh masyarakat Indonesia tergolong belum berhasil. Slogan-slogan mengenai pentingnya sejarah, seperti “JAS MERAH, Jangan sekali-kali melupakan SEJARAH!”, “SEJARAH ADALAH TULANG PUNGGUNG IDENTITAS NASIONAL”, “SEJARAH ADALAH PELOPOR NASIONALISME SEBUAH BANGSA”, nampaknya masih bersifat slogan belaka.

Harus diketahui apa yang menjadi sumber permasalahan dari fenomena ini, karena jika dibiarkan maka akan semakin gawat. Bayangkan jika seluruh warga negara Indonesia, tidak ada satupun yang mengakui bahwa dia adalah Orang Indonesia? Bayangkan jika seluruh warga negara Indonesia tidak bangga dengan Tanah Kelahirannya sendiri? Atau tidak mengakui masa lalu bangsanya sendiri hingga sekarang. Tentunya terdapat beragam faktor yang menjadi penyebab kondisi seperti ini. Penulis pun hanya dapat berasumsi berdasar apa yang telah pemulis alami selama ini.

Asumsi pertama, gagalnya pembelajaran sejarah/tentang identitas nasional di sekolah. Di usia pelajar dasar hingga menengah. Pelajaran Sejarah sering kali diajarkan sebatas pemaparan data dan fakta dari suatu peristiwa, kurangnya referensi guru terhadap suatu peristiwa berdampak terhadap apa saja yang disajikan di kelas dari guru kepada murid.

Sering kali guru sejarah sekedar memaparkan kronologis dari sebuah peristiwa, tanpa memberikan analisa kritis atas pola-pola dari peristiwa tersebut. Kronologis peristiwa Sejarah seringkali hanya lewat begitu saja tanpa terdapat hal yang membekas sebagai sebuah pelajaran hidup bagi murid di kelas. Sejarah berlalu sebatas penyebab, jalannya peristiwa, dan berakhirnya karena apa, lalu sedikit dibahas mengenai dampak setelah peristiwa tersebut terjadi.

Contoh sederhana, Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Di kelas-kelas, sering disampaikan secara datar, mengenai jalannya Proklamasi. Dimulai dari dijatuhkannya Bom Atom oleh Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki, lalu berlanjut dengan dipanggilnya Soekarno, Hatta dan Radjiman ke Dalat, Vietnam. Dilanjut dengan kronologis Rengasdengklok, baru kemudian pembacaan teks Proklamasi oleh Soekarno dan Hatta. Lalu diselingi apa dampaknya bagi Indonesia? Indonesia mencapai kemerdekaan, dan kita menjadi bangsa yang merdeka, serta diakui kedepannya secara internasional.

Penulis yakin, setelah guru keluar kelas, mayoritas murid akan langsung lupa dengan materi yang diajarkan, karena sudah disibukkan dengan pelajaran materi berikutnya. Nanti ketika akan diajakan uji tes kemampuan pengetahuan, murid tinggal tanya kisi-kisi pada guru, lalu mencari kemudahan spekulasi pertanyaan dan jawaban di internet. Lalu apa hasil materi dikelas? TIdak ada, karena materi di internet lebih luas dan lengkap.

Seandainya, guru di kelas dapat mengajak murid berfikir kritis serta menggali pemikiran historis para murid, niscaya pelajaran di kelas menjadi lebih hidup, dan akan terus melekat jiwa analisa mereka dengan menggunakan salah satu peristiwa sejarah. Misalkan, ketika membahas peritiswa proklamasi kemerdekaan Indonesia, guru juga mengajak murid menganalisa peristiwa tersebut. Mampu memberikan stimulus untuk mengangkat kerangka berfikir kritis para murid, mungkin sejarah akan lebih berkesan.

Mengapa Sekutu memilih Hiroshima dan Nagasaki untuk sasaran pengeboman? Mengapa Bom Atom yang dipilih oleh Amerika? Seandainya Seokarno, Hatta dan Radjiman menolak undangan Terauchi ke Dalat, apa yang bakal terjadi pada bangsa Indonesia? Seandainya golongan muda melakukan proklamasi sendiri (seperti yang dilakukan di Rengasdengklok) kepada seluruh bangsa Indonesia, apakah kita masih tetap merdeka di bulan Agustus 1945? Atau, mengapa kok Soekarno dan Hatta yang di desak untuk membaca teks proklamasi, bagaimana jika Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah yang melakukan Proklamasi? Apakah nasib bangsa kita menjadi seperti ini?

Nampaknya diperlukan pemikiran berani untuk menganalisa peritiswa secara out of the box, tidak terlalu terpacu pada textbook belaka. Tentunya guru sejarah harus senantiasa membekali diri dengan referensi-referensi terkait peristiwa sejarah yang sedang berkembang di masyarakat.

Sekalipun detik ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas kita dapat melakukan searching di internet. Namun apakah pola menganalisa peristiwa tersebut telah dimunculkan oleh guru sejarah? Sejauh mana upaya guru sejarah untuk menumbuhkan semangat bangga pada bangsa Indonesia kepada murid? Karena Penulis yakin, jika hanya sebatas slogan atau tekstual belaka dan tidak terdapat penjelasan yang mengena pada para murid, maka dapat dipastikan murid tidak memiliki ketertarikan pada pelajaran sejarah, setelah tidak tertarik pada pelajaran sejarah bangsa sendiri, mereka hanya akan menghindar, setelah itu semakin tidak mau tahu dengan sejarah bangsa sendiri.

Mungkin ini salah satu penyebab, seperti yang disampaikan oleh Anthony Reid, bahwa bangsa kita tidak mampu menjelaskan bangsanya sendiri kepada dunia luar, dikarenakan sejak usia remaja, mereka sudah enggan mempelajari sejarah bangsa. Mereka tidak tahu menahu tentang sejarah bangsa, dan untuk lanjut studi di jenjang perguruan tinggi, mereka enggan untuk memilih jurusan sejarah, karena mereka sudah beranggapan, SEJARAH itu MEMBOSANKAN, materi dari SD hingga SMA hanya berulang-berulang, sehingga murid menjadi mengantuk saat di kelas.

Disisi lain, guru pun diribetkan dengan bagaimana membuat model pembelajaran menarik dikelas, namun seringkali yang terjadi, bukan pemahaman materi yang didapat, justru permainan-permainan atau euforia dari model pembelajarannya yang diingat oleh murid, dan lagi-lagi, mereka belum menemukan hal yang menarik untuk dikritisi. Belum lagi permasalahan guru yang njelimet tentang penyusunan perangkat mengajar, yang 100% perencanaan tersebut belum tentu dijalankan dikelas. Penulis tidak menyalahkan hal tersebut, merencanakan sesuatu dengan matang dan dilaksanakan sesuai rencana adalah hal yang cukup melegakan dalam melakukan aktifitas.

Namun seringkali, perangkat pembelajaran tersebut dibuat sebatas diatas kertas, untuk menunjang prestise-prestise semata tanpa terdapat realisasi langsung di dalam kelas, atau lebih tepatnya sekedar memenuhi kebutuhan formalitas.  Menguatkan apa yang penulis sampaikan diatas, kita masih terjebak oleh slogan, tanpa arti, dan tidak bermakna langsung di masyarakat. Sekalipun begitu, Penulis yakin, diluar sana, masih banyak guru sejarah yang memiliki pola pikir yang sama dengan apa yang Penulis sampaikan, berani menganalisa sebuah peristiwa sebagai sarana untuk menciptakan pola pikir kritis generasi penerus untuk bekal dikemudian hari.

Asumsi kedua, menanggapi keminderan bangsa kita terhadap bangsa sendiri, dengan masih dibumbui pemahaman bahwa sejarah itu membosankan, atau gak asyik (menurut bahasa remaja sekarang). Mayoritas penduduk Indonesia, termasuk Penulis sendiri sudah jenuh dengan sistem perpolitikan yang sedang berjalan. Ketidakpedulian terhadap politik sudah mulai muncul cukup lama, dikarenakan masyarakat secara umum sudah merasa bosan dengan janji-janji para wakli rakyat. Euforia pilkada, pemilu dan pemilihan pimpinan pada lembaga-lembaga negara ini, sudah bosan didengarkan oleh rakyat.

Tentunya hal ini dirasakan, karena rakyat kelas bawah (menggunakan istilah bawah dan atas, karena istilah ini yang sering muncul dimasyarakat) tidak merasakan dampak yang krusial, dampak yang fenomenal ke arah kehidupan yang lebih baik. Kesusahan masih menjadi fokus pemikiran rakyat. Sekalipun berbagai bantuan tunai diberikan pada rakyat, namun tidak membuat rakyat menjadi bangga dengan pemerintah. Ketidakmerataan bantuan yang terksesan pilih kasih, justru memunculkan berbagai spekulasi dimata rakyat, seolah, hanya keluarga dari pejabat yang menerima bantuan, dan tidak bagi rakyat biasa.

Masih dengan cara yang sama, pemberian bantuan tunai kepada rakyat, bukan semakin membuat masyarakat menjadi tenang. Ribuan kepala keluarga berbondong-bondong mencari pengakuan bahwa diri dan keluarganya adalah golongan miskin. Merelakan diri sebagai orang tidak mampu, membuang harga diri menjadi golongan orang tertindas secara ekonomi, hanya demi sejumlah rupiah. Dan jika hal seperti ini tidak segera diselesaikan, tentunya (sesuai data yang bakal terjadi) angka kemiskinan rakyat Indonesia akan semakin bertambah. Yang kedua masyarakat hanya akan semakin menaruh harapan tinggi pada pemerintah demi mendapat bantuan (bukan menjadi masyarakat produktif atau memiliki semangat juang yang tinggi). Dan jika tidak terrealisasi sesuai yang diharapkan, rakyat hanya akan semakin kecewa dan enggan mengakui pemerintahan resmi yang sedang menjabat di Indonesia.

Ini yang sekarang sedang terjadi, sehingga masyarakat Indonesia tidak bangga kepada negeri sendiri, bukan karena tidak ingin bangga, namun ketidakpercayaan terhadap pemerintah pusat semakin merambah ke daerah, hingga kepada pemerintah daerah pun, enggan untuk ikut campur urusan. Dan negara yang tidak didukung oleh rakyat, bisa dipastikan akan senantiasa mengalami kemunduran.

Hal ini bisa semakin gawat, jika terdapat kekuasaan asing yang berhasil merebut simpati dari warga negara Indonesia, maka mereka akan diterima dengan tangan terbuka, tanpa peduli apa yang sedang direncanakan, yang jelas rakyat hanya akan mencari aman demi bertahan hidup ditengah kehidupan yang semakin sulit. Namun semoga kondisi negeri ini tidak sampai pada titik tersebut, semoga muncul kekuatan dari dalam, yang mampu mengembalikan tatanan Indonesia kepada bentuk ideal sesuai cita-cita dan harapan bersama.

Berdasar kedua asumsi diatas, bisa dibayangkan, warga negara Indonesia yang tidak mengakui identitas kebangsaannya, dan dilengkapi dengan kebencian kepada pemerintah yang sejatinya harus mengayomi rakyat, maka akan membuat permasalahan ketidakbanggaan rakyat semakin kuat. Apa yang mau dibanggakan, kehebatan bangsa di masa lalu dia tidak punya, kepedulian pada manejemen mengelola sebuah bangsa juga tak punya, dan jika terdapat euforia dari negara lain, dengan mudahnya ia akan langsung mengakui, tanpa pikir panjang, tanpa pikir untuk generasi berikutnya, yang penting ia sudah cukup asyik dengan apa yang dialami saat ini. Sangat disayangkan, jika generasi seperti tersebut akan lebih mengakui atau bangga dengan negara lain, karena mereka mencita-citakan apa yang mereka senangi, bukan apa yang menjadi kebutuhan untuk kehebatan sebuah bangsa.

Asumsi yang ketiga terkait merosotnya pengakuan identitas dari sebuah bangsa, Indonesia. Maraknya media yang menyebar tanpa filter di dunia maya menjadi asumsi berikutnya. Hampir semua stasiun TV dan media sosial menyorot kepada tatanan masyarakat utopis, bukan realita dalam kehidupan. Berbagai tayangan yang dipertontonkan dikemas mengejar pasar, apakah itu salah? TIDAK sama sekali. Media adalah salah satu lahan untuk berbisnis, dan dalam bisnis berbagai cara akan dilakukan yang penting mencapai keuntungan sebesar-besarnya, termasuk mengesampingkan local genius yang ada.

Joget Tik Tok merajalela, tontonan vide-video yang menurut kebanyakan orang dianggap lucu, cenderung menjadi sorotan publik, hiburan-hiburan yang cenderung melecehkan hak asasi manusia sudah menjadi biasa di negeri ini. Di negeri yang sedang kalut menghadapi berbagai problematika kehidupan, jokes menjadi hiburan sekejap guna melakukan refreshing otak, sekalipun jokes tersebut tidak sesuai dengan kultur bangsa Indonesia.

Tradisi Indonesia yang bernuansa lokal dianggap gak gaul, atau ketinggalan jaman, sementara tarian negeri seberang dengan para artisnya menjadi hal yang sangat dielu-elukan secara berlebihan. Coba tanyakan pada remaja usia SMP atau SMA “Negara mana yang akan mereka tuju untuk berwisata?” Mayoritas mereka akan memilih satu nama “Korea”, semoga bukan Korea Utara. Ya, karena faktanya negara-negara yang disukai oleh remaja (sebagai calon generasi penerus bangsa) tersebut menawarkan hal-hal yang mampu menarik minat remaja jaman sekarang. Keindahannya lokasi syuting, pemilihan artis, pembuatan drama untuk usia mereka, sudah berhasil memikat para penonton.

Sementara ketika dikomparasikan dengan realitas di negeri ini, masih banyak terdapat sarana yang belum mampu dikelolal maksimal, industri film lokal masih didominasi drama untuk kalangan orang tua, sehingga terkesan kurang mampu untuk bersaing dikalangan remaja, dan remaja menjadi tidak tertarik (bahayanya untuk urusan negeri pun juga kurang tertarik).

Bahkan, mengikuti acara kerja bakti membangun jalan di kampung dianggap hal yang gak penting, satu karena ketidakpedulian yang sudah muncul sebagaimana yang penulis sampaikan diatas, yang kedua karena mereka sudah terbiasa menonton kebiasaan masyarakat kapitalis, parahnya beberapa sudah berani berfikir, “Halah, daripada repot-repot kerja bakti, bayar orang saja sudah, beres, kita terima jadi”, dan ini sudah merambah ke berbagai pemukiman di kota-kota besar, yang biasa disebut cluster/perumahan.

Betapa menurunnya sikap empati dan kegotongroyongan bangsa ini. Bukan tentang cara membangun sarananya yang penulis soroti, namun lebih pada wujud empati dan jiwa gotong royong yang menjadi ciri khas bangsa timur yang mulai pudar (istilah ini pun juga yang memang sedang dipakai saat ini, timur dan barat) agar terus tertanam dan bertahan. Tatanan masyarakat sudah disibukkan dengan kebutuhan hidup sehari-hari tanpa ada hubungan sinergis dengan masyarakat yang tinggal di kiri kanan rumah masing-masing.

Hiburan-hiburan media sekarang ini, menjadi sebuah kekuatan baru yang dapat menarik minat warga negara Indonesia pada suatu kecenderungan untuk mencintai produk dari negara lain, daripada negeri sendiri. Manusia-manusia yang terbentuk adalah manusia yang bangga dengan keagungan bangsa lain. Memang, dengan didasari ketidakpercayaan pada pemerintah, ketidaktahuan pada kehebatan bangsa, masyarakat kita akan mudah terombang-ambing sana sini, sebatas mengikuti alur yang berjalan atau sedang populer di masyarakat saat ini. Tidak berpendirian, dan cenderung mencari aman, karena mengikuti kebutuhan pasar dengan kepentingan individu sehari-hari.

Seperti itulah yang dimaksud, masyarakat yang tidak memiliki identitas kebangsaan. Tidak memiliki rasa pada negeri sendiri. Sekalipun semua akan dikembalikan pada diri masing-masing, namun masing-masing dari kita pun akan dihadapkan dengan pertanyaan besar. Menjadi individu seperti apakah dirimu? Bangsa apakah kamu?

Semoga semua warga negara Indonesia tanpa terkecuali, akan menjawab pertanyaan ini dengan jawaban pasti dari lubuk hati, AKU INDONESIA. Dan jawaban tidak hanya sekedar lisan, namun juga tindakan, mari perjuangan nasib bangsa ini, dengan senantiasa bangga menjadi Indonesia. Aamiin.

Author: Admin AGSI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *