Pengajaran Sejarah Penting Membentuk Karakter

Hal itu dikemukakan oleh Mendikbud Muhadjir Effendy dalam sambutan diselenggarakannya Simposium Nasional Pengajaran Sejarah, Sabtu (23/2) di Aula LPMP Yogyakarta. Selain memberi apresiasi yang sangat tinggi terhadap pelaksanaan simposium pengajaran sejarah oleh Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI). Mendikbud juga menandaskan beberapa hal. Diantaranya ia meminta agara pembelajaran sejarah di sekolah harus diselaraskan dengan penguatan pendidikan karakter. “Guru sejarah sangat strategis dan vital dalam membentuk karakter siswa. Karena dalam sejarah ada nilai luhur dan semangat yang dapat ditanamkan kepada peserta didik. Karenanya harus dikembangkan pembelajaran yang memanggungkan sejarah agar dapat memancing imajinasi siswa untuk menghayati makna sejarah” ujar Muhadjir. Selain itu, ia juga berharap dengan pembelajaran sejarah anak-anak didik di sekolah dapat mewarisi nasionalisme, bangga sebagai bangsa Indonesia dan mampu melanjutkan perjuangan kemerdekaan yang sudah digagas oleh para founding fathers.

Adapun Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid lebih berpesan kepada guru-guru sejarah untuk lebih menekankan pada relevansi sejarah bagi kehidupan siswa. “Jangan sampai siswa bertanya mengapa kita belajar sejarah? Dan guru tidak bisa menjawabnya. Karenanya, pentingnya pembelajaran sejarah sebenarnya untuk memberikan kesadaran sejarah kepada siswa, sehingga siswa tahu bahwa ia belajar sejarah untuk mengenal dari mana dirinya berawal, saat ini ada di mana, dan akan ke mana mereka nantinya. Di simposium inilah revolusi pengajaran sejarah harus terjadi” ujar Hilmar.

Sementara itu Presiden AGSI Sumardiansyah Perdana Kusuma dalam mengemukakan hasil Resolusi Simposium mengungkapkan terkait pentingnya pengajaran sejarah, maka mustinya mata pelajaran sejarah khususnya di SMK harus diajarkan di semua jenjang kelas. “Pelaksanaan kurikulum saat ini merupakan anomali, kita diminta menumbuhkan karakter siswa melalui pembelajaran sejarah, namun di sisi lain utamanya di SMK, justru sejarah hanya diajarkan di kelas X. AGSI dan Kemdikbud harus duduk bersama untuk mencari formulasi terbaik” tegas Sumardiansyah.

Dalam Simposium tersebut, hadir juga memberikan materi Direktur Sejarah Ditjen Kebudayaan Kemdikbud Triyana Wulandari, Direktur Pembinaan Guru Dikmen dan Diksus Sri Renani Pantjastuti, Guru Besar Pendidikan Sejarah UNS Prof. Hermanu, Guru Besar Sejarah UGM Prof Sri Margana serta Dr Dyah Kumalasari dosen sejarah dari UNY. Juga dipresentasikan 150 karya best practice guru dari seluruh Indonesia, dan diakhiri dengan lawatan sejarah ke objek-objek bersejarah di Yogyakarta di hari terakhir, Minggu (24/2).

Author: Heni Purwono

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *