Oleh Sumardiansyah Perdana Kusuma
Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia
Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I, demikian tertulis dalam laporan pertemuan 30 April – 2 Mei 1926, yang semua berita acaranya ditulis dalam bahasa Belanda, dan baru diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia tahun 1981.
Pertemuan tersebut dirancang dalam bentuk rapat besar yang terbuka bagi siapa saja yang ingin ikut didalamnya. Terjadinya rapat besar ini adalah sebagai hasil dari belasan pertemuan dan puluhan kali diskusi dengan melibatkan para tokoh-tokoh pemuda, yang konon sudah dimulai sejak tahun 1925.
Arah dari berbagai pertemuan dan diskusi itu mengerucut dalam satu gagasan, yaitu “satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa”. Namun gagasan yang sempat dibahas pada rapat besar I ini, menemukan kendala ketika belum didapat kesepakatan mengenai bahasa persatuan apa yang akan digunakan sebagai identitas bangsa yang akan dibentuk kedepan oleh para pemuda-pemudi.
Sejarah mencatat perbedaan pandangan antara Mohammad Yamin yang mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, dengan Mohammad Thabrani Soerjowitjitro yang mengusulkan agar bahasa persatuan yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Inilah yang membuat rapat besar I ditunda, untuk kemudian dilanjutkan dalam rapat besar II yang diadakan 27-28 Oktober 1928.
Nomaden Rapat Besar II
Rapat besar II diadakan secara berpindah tempat (nomaden), dimulai pada 27 Oktober 1928, rapat diadakan di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond – Waterlooplein (sekarang di area Gereja Katedral, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat).
Rapat ini mengetengahkan pikiran Mohammad Yamin mengenai lima factor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia, yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan. Hari selanjutnya, 28 Oktober 1928 bertempat di Gedung Oost-Java Bioscoop (sekarang sekitar Jalan Merdeka Utara), dibahas mengenai pikiran Poernomowoelan dan Sarmidi Mangunsarkoro tentang pendidikan kebangsaan, pola pendidikan yang demokratis, serta keselarasan antara pendidikan dirumah dengan disekolah.
Rapat besar II kemudian ditutup di Indonesische Clubgebouw atau Indonesisch Huis, sebuah asrama yang dihuni oleh para pemuda pelajar, disini mereka membangun tradisi intelektual melalui berbagai diskusi membicarakan mengenai masa depan kebangsaan Indonesia. Bahkan sejak tahun 1926 tempat ini dijadikan markas Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI). Kepemilikan asrama dipegang oleh Sie Kong Liong, seorang keturunan Tionghoa yang peduli terhadap perjuangan para pemuda.
Dari sinilah lahir tiga janji suci mengenai: (1) bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; (2) berbangsa satu, bangsa Indonesia; (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Sarat dengan Kemajemukan dan Inspirator Gerakan Lain
Rapat Besar Pemuda-Pemudi I dan II dihadiri oleh Sembilan organisasi dengan latar belakang yang berbeda, yaitu PPPI, Jong Java (Tri Koro Dharmo), Jong Ambon, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Sekar Rukun, dan Pemuda Kaum Betawi. Selain itu ditengah dominasi pemuda dalam rapat besar, terselip jejak-jejak pemudi yang ikut ambil bagian didalamnya.
Dari sepuluh pemudi yang hadir, hanya tujuh orang yang riwayatnya masih bisa ditelusuri, yaitu Nona Poernomowulan, Siti Sundari, Emma Poeradireja, Suwarni Pringgodigdo, Johanna Masdani Tumbuan, Dien Pantouw, dan Nona Tumbel. Soal pencatatan memang menjadi masalah besar, dimana menurut beberapa sumber, jumlah peserta Rapat Besar II diperkirakan sekitar 750-an orang, namun hanya 75 orang yang namanya tercatat, sisanya masih belum diketahui secara pasti.
Terlepas dari persoalan itu terselenggaranya Rapat Besar Pemuda-Pemudi I dan II mampu menghasilkan satu konsensus besar untuk menentukan identitas kolektif dan menyatukan kita sebagai sebuah bangsa. Letupan dari Rapat Besar ini membawa efek domino bagi lahirnya berbagai gerakan lain seperti pembentukan organisasi nasional Indonesia Muda pada 31 Desember 1930, diadakannya Kongres Perempuan di Yogyakarta 22 Desember 1928, serta Kongres Bahasa Indonesia di Solo 25 Juni 1938.
Tersimpan Kesadaran Sejarah
Nilai-nilai yang terkandung dalam Rapat Besar Pemuda-Pemudi adalah hal yang harus senantiasa diwariskan dari generasi ke generasi, sebagai bahan pelajaran bagi generasi sekarang maupun yang akan datang, sekaligus menjaga pandangan bahwasanya sejarah akan selalu aktual. Beberapa nilai yang bisa dirujuk sebagai kesadaran sejarah antara lain:
- Imajinasi keindonesiaan dibangun oleh para pemuda-pemudi melalui basis intelektual yang kuat, budaya literasi dan diskusi menjadi alat perjuangannya
- Para pemuda-pemudi ini adalah orang-orang yang bisa dikatakan sebagai generasi terdidik dan tercerahkan
- Kemajemukan mewarnai perjalanan Rapat Besar Pemuda-Pemudi I dan II, mulai dari peran orang Tionghoa sebagai pemiliki asrama, keterlibatan para pemuda-pemudi dari berbagai latar belakang daerah, suku, agama, maupun organisasi, serta ada keterlibatan kaum perempuan didalamnya
- Rapat Besar Pemuda-Pemudi I dan II menginspirasi berbagai gerakan lain yang muncul kemudian, mulai dari pembentukan organisasi nasional, Kongres Perempuan, dan juga Kongres Bahasa
Referensi
Foulcher, Keith. 2008. Sumpah Pemuda: Makna dan Proses Penciptaan Simbol Kebangsaan Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.
I Gusti Agung Ayu Ratih, dan kawan-kawan. 2016. Merayakan Ibu Bangsa. Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Martha, G. Ahmaddani, Christianto Wibisono, Yozar Anwar. 1984. Pemuda Indonesia Dalam Dimensi Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta: P.T. Kalina.
—————– 1974. 45 Tahun Sumpah Pemuda. Jakarta: Yayasan Gedung-Gedung-Gedung Bersejarah.