Oleh: Mahfud
Guru SPK Nation Star Academy Surabaya
Pengurus Inti Forum Komunikasi Guru SPK Indonesia (FKGSI) Wilayah Jawa Timur
Bak petir disiang bolong, begitulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan betapa terkejutnya guru – guru yang mengajar di sekolah SPK (Satuan Pendidikan Kerjasama), ketika memasuki tahun 2020, Tunjungan Profesi Guru (TPG) SPK yang ditunggu-tunggu tiba-tiba diberhentikan oleh Diknas. Banyak guru SPK yang bingung dan resah sebab data yang ada di Dapodik (Data Pokok Pendidikan) tidak kunjung valid, malah jumlah jam mengajar dan sekolah SPK disilang merah.
Usut punya usut ternyata penyebabnya adalah Peraturan Direktur Jendral Guru dan Tenaga Kependidikan (Perdirjen GTK) Kemendikbud Nomor : 5745/ B.B1.3/HK/2019 dalam Lampiran 1 Bagian C Nomor 2, dan Peraturan Sekretaris Jendral Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Persesjen Kemendikbud) Nomor 6 Tahun 2020 pada Pasal 6, ayat (2), menegaskan untuk menghentikan TPG guru sekolah SPK dan guru Agama. Untuk guru Agama sudah jelas menjadi kewenangan kementerian Agama, namun anehnya untuk guru SPK pemberhentian tunjangan tersebut tidak ada penjelasan sama sekali. Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah ada apa ini ? Padahal, tahun-tahun sebelumnya, tunjangan tersebut berjalan dengan lancar baik untuk sekolah Nasional maupun sekolah SPK.
Menurut penulis, Perdirjen GTK dan Persesjen Kemendikbud di atas,bisa berpotensi melanggar Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sebab pada Pasal 2 dinyatakan bahwa guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan telah mempunyai Sertifikat Pendidik. Berdasarkan hal ini, antara guru sekolah Nasional dan guru sekolah SPK kewajibannya sama, yaitu dibuktikan telah mempunyai Sertifikat Pendidik.
Disamping itu, menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (Permen RI) Nomor 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, pada Pasal 3 ayat (1) dinyatakan, bahwa Guru dan Dosen yang telah memiliki Sertifikat Pendidik dan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan diberikan tunjangan profesi setiap bulan. Ayat (2) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan kepada Guru dan Dosen Pegawai Negeri Sipil dan bukan Pegawai Negeri Sipil (Non PNS). Berdasarkan Permen RI nomor : 41 inipun seharusnya hak guru tidak ada perbedaan baik guru yang mengajar sekolah Nasional dengan guru yang mengajar sekolah SPK.
Lalu, timbullah pertanyaan, berdasarkan alasan apakah munculnya Perdirjen GTK dan Persesjen Kemendikbud tersebut ? Menurut Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemendikbud, Ade Erlangga, alasan Tunjangan Profesi Guru SPK diberhentikan sebab guru-guru yang mengajar di sekolah SPK tersebut tidak memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP), seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor : 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, contohnya jumlah Rombel (Rombongan Belajar) tidak sesuai standar (Jawa Pos, 3 Juni 2020).
Kalau memang jawabnya itu, mengapa baru sekarang tunjangan profesi guru SPK diberhentikan, padahal Permen RI nomor : 17 itu sudah berlaku sejak tahun 2010 lalu. Bahkan, apakah semua sekolah SPK Rombelnya tidak memenuhi standar ? Padahal menurut PSSI, bukan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, tetapi Persatuan Sekolah SPK Indonesia, saat ini jumlah sekolah SPK di Indonesia ada 685 sekolah. Apakah semua sekolah SPK jumlah Rombelnya tidak memenuhi ? Alasan kedua, dalam suatu diskusi interaktif yang digagas oleh FKGSI (Forum Komunikasi Guru SPK Indonesia), hari Selasa, 9 Juni 2020 secara online (streaming) yang hingga saat ini, jumlah anggotanya mencapai 421 guru SPK yang berasal dari 8 Propinsi, yaitu Propinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kepulauan Riau, Riau, Kalimantan Barat dan Bali.
Dalam diskusi tersebut selain pembentukan Pengurus FKGSI juga mencari latar belakang munculnya Perdirjen dan Persesjen GTK tersebut. Salah satu alasan yang muncul, selain Rombel tidak standar adalah guru sekolah SPK hidupnya lebih berkecukupan dibanding dengan guru sekolah Nasional. Jawaban inipun sifatnya sangat relatif dan subjektif, sebab tidak ada parameter yang jelas untuk mengukurnya. Bahkan dilapangan masih banyak guru sekolah SPK hidupnya lebih kekurangan dibanding saudaranya di sekolah Nasional. Istilah yang tepat dalam bahasa Jawa adalah : “ sawang sinawang” (saling melihat lebih kaya) sebab tidak didukung data secara empiris.Bahkan, banyak guru SPK yang masih menerima BLT (Bantuan Tunai Langsung), artinya banyak guru SPK yang gajinya masih di bawah 5 juta rupiah.
Perlu menjadi bahan renungan bersama adalah sekolah-sekolah SPK di Indonesia ini dahulunya adalah sebagian kecil memang berasal dari sekolah internasional seperti Jakarta International School (JIS) di Jakarta dan Sekolah Ciputra di Surabaya, namun sebagian besar berasal dari sekolah-sekolah Nasional yang terakreditasi A dan telah memenuhi syarat untuk menjadi sekolah SPK yang syaratnya justru lebih berat dibanding sekolah Nasional, antara lain, melaksanakan kurikulum Nasional dan sekaligus kurikulum Asing untuk beberapa mata pelajaran, tetapi tetap ada mata pelajaran Agama, PKN, Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah juga ada, tetap menyelenggarakan Ujian Nasional, seperti sekolah Nasional, guru-guru SPK wajib tersertifikasi dan kepala sekolahnya minimal berpendidikan Magister (S-2).
Selain itu, walaupun sekolah SPK ini di bawah naungan langsung Kemendikbud pusat, namun dalam kenyataannya tidak bisa terlepas dari Dinas Pendidikan setempat karena adanya otonomi daerah. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan setempat, sekolah SPKpun juga ikut misalnya Diklat Peningkatan Kompetensi Pembelajaran Berbasis Zonasi, lomba, seminar, workshop dan kegiatan lainnya. Pendek kata, sekolah SPK itu dalam keseharian tidak jauh berbeda, namun memang beberapa mata pelajaran berbeda sebab diperkaya dengan kurikulum Asing. Namun anehnya, tidak ada hujan, tidak ada angin, tiba-tiba tunjangan profesi guru SPK diberhentikan. Kalau boleh mengibaratkan sebuah keluarga, guru-guru SPK saat ini seperti anak tiri.
Sementara itu, kemarin hari Sabtu, 9 Januari 2021 dengan dimediatori oleh Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), Sumardiansyah Perdana Kusuma, diadakan “ Diskusi Gayeng” antara Pengurus FKGSI dengan PSSI/AIESEI yang diwakili ibu Capri Anjaya yang membahas tentang awal mula terbentuknya sekolah SPK, kemudian pemaparan dari PGRI diwakili oleh Kang Dudung Abdul Qodir yang menyoroti tentang Tidak Cairnya TPG Guru SPK, Guru PJOK SMK. Selain itu acara yang berlangsung secara streaming kemarin mulai pukul 19.30 sampai pukul 21.15 juga dihari wartawan Kompas, Yovita Arika.
Berdasarkan pemaparan di atas, sudah selayaknyalah penulis bertanya dan mengetuk hati kepada para pengambil keputusan, sudah adilkah untuk memberhentikan tunjangan profesi guru SPK ini ? Bukankah tunjangan profesi guru ini menjadi hak semua guru yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan perundang-undangan ? Mengapa kewajiban yang harus dilakukan guru SPK dan guru Nasional sama, namun haknya dibedakan ? Berapa jumlah korban guru SPK seluruh Indonesia akibat adanya Perdirjen GTK dan Persesjen Kemendikbud ini ? Bagaimana menurut Anda ?