Oleh: Tsabit Azinar Ahmad, Dosen Sejarah Universitas Negeri Semarang
Beredarnya draf “rahasia” Sosialisasi Penyederhanaan Kurikulum dan Asesmen Nasional telah memicu keriuhan. Pasalnya, dokumen bertanggal 25 Agustus 2020 ini dinilai mereduksi peran mata pelajaran Sejarah Indonesia. Di balik perdebatannya, setidaknya kita tahu bahwa banyak pihak peduli terhadap status sejarah sebagai mata pelajaran. Ini dibuktikan dengan ragam dukungan dari berbagai kalangan. Menindaklanjuti ini, melalui Instagram (20/9) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bahkan membuat klarifikasi khusus. Ia menegaskan pelajaran sejarah tidak akan dihapus.
Namun, klarifikasi itu tidak membuat perdebatan mereda. Justru beragam gagasan bertebaran dalam beragam media. Ada pihak yang berargumen tentang perlunya evaluasi. Kita ambil contoh tulisan Nino Arditomo tentang Polemik Penyederhanaan Kurikulum (20/9). Tulisannya memang tidak menempatkan sejarah sebagai sorotan. Tetapi, di dalamnya ada kesan bahwa polemik pelajaran sejarahlah yang melatarbelakangi tulisan ini dirumuskan. Ia menulis bahwa peyederhanaan tidak hanya membidik mata pelajaran sejarah sebagai sasaran. Tulisan ini kemudian menjadi bahan perbincangan di kalangan pendidik sejarah, setelah seorang kolega membagikannya dalam grup pertemanan.
Di satu sisi, pihak yang menolak isu hilangnya pelajaran sejarah semakin gencar. Ragam reaksipun bertebaran. Mulai dari petisi, pernyataan sikap, tulisan-tulisan, hingga pemikiran konspiratif meramaikan lini masa media sosial kita. Webinar tentang posisi sejarahpun marak dilakukan. Hampir tidak ada yang menyangkal bahwa sejarah memiliki peran besar dalam kehidupan. Termasuk mata pelajaran Sejarah Indonesia sebagai turunannya. Peter Carey, sejarawan kondang yang puluhan tahun meneliti Diponegoro ikut turun gelanggang. Tulisannya bertajuk Apa Akibatnya Jika Mapel Sejarah Dihapus dari Kurikulum Nasional? (22/9). Di dalamnya ia mengilustrasikan sejarah sebagai media diplomasi di masa revolusi.
Namun demikian, sejauh pengamatan penulis, ada hal penting yang justru luput diperbincangkan. Yakni tentang bagaimana pelajaran sejarah akan disajikan. Selama ini perdebatan belum menyentuh tentang bagaimana alternatif ketika pelajaran sejarah diterpa isu penyederhanaan. Apa yang perlu dibenahi dari pelajaran sejarah? Tampaknya masalah ini belumlah dibahas secara tuntas.
Sisi Terang dan Sisi Remang
Untuk apa belajar sejarah? Secara normatif, sejarah memberikan penguatan identitas kebangsaan. Inilah yang kemudian mendorong M. Yamin (1958) menulis 6.000 Tahun Sang Merah Putih. Bahwa bendera kebesaran kita memiliki kisah yang panjang ke belakang. Atau seperti yang ditulisakan oleh Peter Carey tentang pidato Sjahrir di muka Dewan Keamanan PBB. Syahrir berbicara tentang identitas bangsa Indonesia yang telah mengakar sejak ratusan tahun silam. Pertanyaan selanjutnya, apakah pendidikan sejarah kita sudah mampu membuat siswa sepemikiran dengan Sjahrir tentang identitas kebangsaan? Kemudian, bagaimana ketika muncul fenomena people without history, orang yang terpinggrikan. Apa identitas yang mereka miliki? Ini tentu tidak mudah dibahas.
Sejarah tidak semata-mata menuliskan cerita tentang kejayaan dan gegap gempitanya masa lalu. Tidak pula hanya tentang kisah dan nilai kepahlawanan. Sejarah tidak sepenuhnya terang. Ia juga memiliki sisi remang. Terkadang, ada pihak yang dipinggirkan. Ada kalanya pula meninggalkan dendam dan dosa sejarah. Kisah ini tidaklah mungkin untuk dikubur dalam-dalam dan diabaikan.
Saya sepenuhnya sepakat dengan pemikiran Harari dalam Homo Deus (2016). Bahwa alasan terbaik belajar sejarah “not in order to predict the future, but to free yourself of the past and imagine alternative destinies.” Belajar sejarah bukanlah untuk meramal masa depan. Untuk alasan tertentu, belajar sejarah untuk berdamai dengan masa lalu. Melepaskan belenggu sejarah dan mencari jalan-jalan takdir alternatif lainnya. Ini karena tiap generasi berhak untuk tidak dihantui masa lalu. Mereka juga berhak menuliskan sejarahnya sendiri.
Karena dua sisi yang dimiliki sejarah, pendidikan sangatlah dibutuhkan. Pendidikan digunakan dalam memaknai masa lalu secara kontekstual untuk pengembangan kemampuan peserta didik. Termasuk kemampuan berpikir kritis. Dengan demikian, pendidikan sejarah hakikatnya memberikan suatu arahan. Sehingga, tanpa pendidikan sejarah, pemahaman menjadi tidak terarah. Sementara itu, ketiadaan arah bisa menjadikan bangsa terpecah.
Mengapa demikian? Karena jika disalahgunakan, sejarah dapat menjadi senjata yang membahayakan. Sejarah merupakan media yang ampuh untuk menjustifikasi pernyataan sekaligus menjadi argumentasi pembenaran. Bukan tidak mungkin masa lalu akan disalahgunakan hingga menciptakan hoaks kesejarahan. Apalagi jika dikemas secara meyakinkan, serta mengusik sisi primordial dan emosional masyarakat. Bisa saja masyarakat akan mudah terbawa suasana karena isu yang berkembang dipercayai begitu saja. Sudah tidak terhitung beragam gerakan menggunakan sejarah sebagai alat. Sunda empire salah satunya. Contoh lainnya adalah tentang jejak khilafah di nusantara atau tentang muslimnya seorang Gajah Mada. Perumpamaan lain misalnya, setiap bulan September, wacana tentang komunisme mendadak bermunculan. Hal-hal ini memaksa kita untuk berhati-hati dalam memaknai masa lalu.
Dua Sisi Sejarah
Oleh karena itu, kita perlu menghadirkan masa silam secara jernih untuk melihat permasalahan dengan jelas. Hal ini dilakukan melalui pendidikan sejarah. Dengan demikian, masa lalu bisa hadir dengan humanis dan advokatif. Di sini pula bisa diulas beragam kebenaran masa lalu secara bijak.
Kontribusi Sejarah
Sejarah memberikan satu sumbangan besar dalam dunia pendidikan. Kontribusi itu adalah perspektif. Bagaimana masa lalu menjadi perspektif dalam memahami realitas saat ini. Untuk melihat pentingnya perspektif, film Ratatouille (2007) berhasil mengilustrasikannya dengan sangat baik.
Di film itu, Remy, tikus yang terobsesi menjadi koki, harus mampu “mengalahkan” Anton Ego. Ego adalah seorang kritikus makanan kenamaan. Saat Ego datang, ia tidak memesan makanan. Yang justru ia minta adalah perspektif. Lalu apa yang Remy sajikan? Ia hanya membuat masakan rumahan sederhana: ratatouille. Namun, masakan itu melemparkan Ego ke memori masa kecilnya. Saat ia pulang dan melahap ratatouille buatan ibunya. Inilah kekuatan perspektif. Sesuatu yang sederhana menjadi sarat makna.
Relasi Sejarah dan Pendidikan
Di dalam sejarah, ragam perspektif disajikan. Melalui sejarah, kita tahu bahwa perubahan adalah suatu keniscayaan. Bahwa tidak ada peristiwa yang kekal. Misalnya tentang bagaimana kerajaan-kerajaan atau pemerintahan muncul, berkembang, dan kemudian tumbang.
Melalui sejarah, kita belajar tentang konsep kesinambungan. Bahwa selalu ada keterhubungan di dalam garis waktu. Ada keterhubungan antara peristiwa sejarah satu dengan lainnya yang sezaman. Misalnya, pesatnya organisasi pergerakan Islam di Indonesia di awal abad ke-20 berkorelasi erat dengan dibukanya terusan Suez. Ketika belajar tentang kesinambungan, kita menjadi paham bahwa apa yang terjadi saat ini memiliki kisahnya sendiri di masa lalu. Misalnya, di dalam semangkuk soto, ternyata terdapat sejarah tentang interaksi antara masyarakat lokal dan Tionghoa. Dalam Nusa Jawa: Silang Budaya jilid II, Denys Lombard (2005) mengulas bahwa soto adalah masakan masyarakat Tionghoa. Berakar dari kata caudo, rebusan jeroan berempah. Melalui sejarah, kita juga belajar kronologi, yakni tentang bagaimana urutan suatu kejadian. Juga tentang berbagai pemikiran yang mengubah sejarah kemanusiaan.
Dan yang tidak kalah penting, melalui sejarah, kita melihat bahwa kebenaran tidaklah bersifat tunggal. Bahwa munculnya versi-versi dari suatu peristiwa adalah sebuah kebiasaan. Misalnya, dalam melihat tragedi 1965, ada beragam pendapat yang masing-masing memiliki dasar pemikiran. Karena itu, tidak dapat dengan mudah kita memberi penilaian, apalagi penghakiman.
Gagasan ke Depan
Untuk mewujudkan kontribusi sejarah bagi pendidikan tidaklah mudah. Setidaknya ada tiga tahapan agar sejarah benar-benar memberikan sumbangan. Pertama, mempelajari fakta-fakta kesejarahan. Tahap ini disebut “belajar tentang sejarah.” Kedua, mengambil nilai-nilai dari masa lalu. Di tahap ini, kita “belajar dari sejarah.” Ketiga, mengasah kemampuan berpikir. Tahapan ini termasuk dalam “belajar untuk (ditulis oleh) sejarah.” Karena dengan kemampuan berpikir dan memecahkan masalah inilah, seseorang akan dituliskan oleh sejarah. Atau bahkan menuliskan sejarahnya sendiri.
Tingkatan dan Aspek Belajar Sejarah
Tahapan-tahapan ini juga menunjukkan bahwa pendidikan sejarah sejalan dengan critical pedagogy. Tahap pertama, naming. Bagaimana kita mengidentifikasi permasalahan. Tahapan kedua, reflecting. Bagaimana kita merefleksikan secara kritis suatu permasalahan dan mencari maknanya. Tahapan ketiga, acting. Bagaimana kita menerapkan pengetahuan dalam realitas keseharian.
Pertanyaan yang perlu dijawab adalah, pendidikan sejarah kita berada pada level apa? Jika selama ini kita hanya melihat sejarah sebagai sederetan peristiwa, angka, dan nama, mungkin inilah saatnya kita berbenah.
Seorang guru sejarah pernah mengirimkan pesan pribadi kepada penulis. Intinya kebosanan siswa bukan karena pendidiknya tidak kompeten. Tetapi materinya yang kurang relevan dengan kondisi kekinian dan kebutuhan siswa.
Untuk mencari jawaban dari perspektif siswa, beberapa anak sempat penulis tanya. Dari segi isi, terdapat kesan bahwa sejarah adalah pelajaran yang padat materi. Bayangkan saja, kehidupan selama ribuan tahun hanya dijelaskan dalam waktu sekian jam pelajaran. Kadangkala, siswa juga mengalami kebingungan. Materi yang ada di kelas berbeda dengan yang berkembang di masyarakat. Bahkan ada fakta yanga saling bertentangan.
Dari fakta ini, evaluasi kurikulum menjadi relevan dilakukan. Pembenahan sebaiknya difokuskan pada aspek kontekstualisasi. Tugas utama kita adalah bagaimana menghadirkan masa lalu secara kontekstual. Namun kita juga harus hati-hati. Jangan sampai terjebak pada anakronisme sejarah. Menilai masa lalu dengan parameter saat ini.
Yang harusnya kita lakukan adalah mencari relevansi masa lalu dengan kondisi sekarang. Pada tiap periode kita bisa mengambil tema-tema besar yang sejalan dengan isu kekinian. Oleh karena itu, pendekatan tematik menjadi satu pilihan. Melalui pendekatan ini tumpang tindihnya materi sejarah pada jenjang SD dan SMP bisa dihindari. Di sekolah dasar, pendidikan sejarah dapat mengambil tema tentang sejarah keluarga. Juga tentang bagaimana kebesaran kita di masa sebelumnya. Di tingkat menengah pertama, mulai dikenalkan sejarah yang ada di sekitar siswa. Harapannya agar siswa tidak gagap dengan lingkungan dan kehidupan di sekelilingnya. Meminjam istilah Kuntowijoyo (2001), pada tingkat dasar, sejarah diajarkan melalui pendekatan estetis. Sementara itu, pendekatan etis diterapkan di tingkat selanjutnya.
Pada jenjang SMA dan yang setara, tema bisa lebih kaya. Saat mempelajari masa praaksara misalnya, tema-tema lingkungan sangatlah relevan disampaikan. Akan tetapi, yang difokuskan bukanlah tentang kondisi lingkungan masa praaksara. Yang lebih ditekankan adalah tentang bagaimana relevansi etika lingkungan masyarakat praaksara dengan saat ini. Apa hal-hal yang bisa kita ambil dari kehidupan mereka. Serta sejauh mana cara mereka mengatasi permasalahan lingkungan bisa kita adaptasi saat ini.
Contoh lainnya, saat mengulas tentang pelayaran bangsa barat dan kolonialisasi, diangkatlah tema tentang ekonomi global. Kemudian, saat membahas tentang masa pergerakan nasional. Hal yang perlu dikuatkan adalah tema tentang identitas kebangsaan. Bahwa perjuangan untuk mencari identitas kebangsaan ditempuh dengan proses yang panjang. Lain lagi saat kita membahas periode 1950-an. Tema yang cocok diajukan adalah tentang demokratisasi dan desentralisasi. Ada pula tema tentang rekonsiliasi saat membahas kisah kelam kita di masa silam. Cara yang paling sederhana adalah dengan menghadirkan realitas yang beragam. Bahwa tidak ada kebenaran yang tunggal. Dengan pendekatan tematik ini, masa lalu menjadi cermin untuk melihat realitas saat ini.
Upaya kontekstualisasi dilakukan pula dengan mengawinkan materi di kelas dengan sejarah publik. Sejarah perlu terkait dengan memori kolektif masyarakat setempat. Juga peninggalan kesejarahan yang ada di sekitar mereka. Hal yang juga tidak kalah penting adalah menghadirkan aspek lokal dalam pembelajaran. Bisa meliputi peristiwa dan tokoh-tokoh lokal. Dengan demikian, sejarah menjadi dekat dengan keseharian.
Di jenjang ini, siswa dapat mulai dikenakan dengan ragam historiografi. Sehingga dunia pendidikan sejalan dengan perkembangan keilmuan.
Untuk sekolah kejuruan, tema yang dikembangkan mencakup dua hal. Pertama, tema-tema umum, seperti tentang lingkungan, nasionalisme, atau multikulturalisme. Kedua, tema-tema fakultatif. Misalnya pada program kuliner, maka lebih ditekankan tentang sejarah kuliner. Pada program pelayaran, maka lebih ditekankan pada sejarah maritim. Di program pertanian, maka penekanan pada sejarah agraria.
Di luar aspek konten, hal lain yang kita perlu perhatikan adalah dari strategi pengemasan. Bagaimana menghadirkan media baru sebagai bahan ajar juga perlu untuk dilakukan. Dengan demikian, sejarah bisa tampil lebih dekat dan bersifat kekinian. Tentu ini bukan pekerjaan mudah. Butuh waktu dan upaya ekstra untuk mewujudkan semuanya. Namun, penulis yakin, hasil yang dicapai akan memuaskan dan relevan dengan minat belajar siswa. Sekaligus menumbuhkan rasa cinta pada sejarah, sehingga mereka akan membaca dan belajar tanpa dipaksa.