Sejarahwan Universitas Indonesia Anhar Gonggong mengatakan, hal tersebut di depan 75 guru sejarah se-Jawa peserta Trainer of Trainer (ToT) Salam Pancasila, Minggu (20/10) di Hotel Hermitage Menteng Jakarta. Kegiatan tersebut dihelat oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bekerjasama dengan Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI). Menurut sejarahwan berambut nyentrik tersebut, sering kali penerapan keadilan sosial seringkali terpotong, tidak bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga pelaksanaan sila lainnya terutama persatuan Indonesia tidak terjadi. “Andai Pancasila dijalankan dengan benar, maka Republik Indonesia adalah surga. Sayangnya sebagian dari kita rampok” tandasnya. Belum lagi, tambahnya, Pancasila juga terkadang dijadikan sebagai alat gebuk atas nama sila persatuan Indonesia.
Tentang pengajaran Pancasila, Anhar menegaskan, tugas mengajar bagi guru sejarah tidaklah mudah. Menurutnya guru sejarah harus memberikan kenyamanan kepada siswa untuk dapat memahami sejarah tanpa memaksa mereka menghafal angka-angka tahun semata. “Tidak ada gunanya sejarah menghafal angka tahun. Di balik makna peristiwa itulah yang paling penting. Siswa harus mendapatkan nilai yang terkandung dari sebuah peristiwa sejarah” jelasnya.
Klarifikasi
Tentang sejarah Pancasila, Anhar juga mengklarifikasi bahwa dirinya tidak pernah menolak hari lahir Pancasila adalah 1 Juni 1945. menurutnya, sering kali orang tidak mau membaca dan melihat proses sejarah. Ia mengatakan bahwa beicara tentang sejarah Pancasila maka bicara tentang kurun waktu yang cukup panjang. “Peristiwa 17 Agustus 1945 itu, tidak akan terjadi tanpa didahului dengan Pergerakan Nasional. Pancasila adalah rumusan dari Bung Karno sejak 1926 sampai 1945. Dari buku Di Bawah Bendera Revolusi itulah kita bisa mengikuti bahwa sosio nasionalisme sudah diungkap oleh Bung Karno pada 1933. Adapun tanggal 1 Juni 1945, dalam rapat BPUPK, memang hanya Sukarnolah yang menamakan tentang konsepsi Pancasila. Jadi itu sudah fakta yang tidak terbantahkan” jelasnya.
Anhar juga menyampaikan tentang Jakarta Charter yang menurutnya merupakan rumusan dari dua golongan, nasionali sekuler dan nasionalis Islami dan berhasil tercapai kata sepakat pada 22 Juni 1945. “Namun kemudian, pada 17 Agustus 1945 sore, dalam buku Memoar Hatta mengatakan datang wakil-wakil dari Indonesia Timur yang tidak sepakatdan mengancam untuk keluar dari RI. Terbayang dalam pikiran Hatta, perjuangan 25 tahun untuk merdeka bisa saja hilang. Maka pagi harinya, dikumpulkanlah tokoh-tokoh Islam seperti Kasman Singodimejo, Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo dan yang lainnya, diajak berdiskusi, dan kata Hatta, dalam waktu tidak kurang dari 15 menit, persoalan yang demikian besardapat diselesaikan. Itu tidak lain karena kebesaran jiwa dan toleransi para pemimpin umat Islam, sehingga sudah tidak perlu diperdebatkan tentang sila Ketuhanan Yang Maha Esa” tandasnya.
Akhirnya, Anhar berpesan kepada guru-guru sejarah, agar lebih bekerja keras membaca literature-literatur resmi, agar apa yang diajarkan kepada siswa tidak menyesatkan.