Serang – Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Banten menyelenggarakan webinar berjudul “Revolusi 1926 di Banten: Pemberontakan Komunis atau Perang Sabil?” pada Senin (29/6/2020). Perhelatan webinar menggunakan aplikasi Zoom AGSI serta disiarkan live melalui channel youtube Asosiasi Guru Sejarah Indonesia. Pendaftar yang membludak membuat para peserta yang tergabung di Zoom hanya sebatas 500 orang dan selebihnya menyaksikan lewat youtube. Tercatat 1956 orang yang mengisi formulir pendaftaran dan selama webinar berlangsung 1500an absensi peserta diisi.
Mengangkat Sejarah Lokal Banten
Ketua AGSI Banten Abdul Somad menyampaikan dalam sambutan, “Kami AGSI Banten bukan berdasarkan polemik RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dan bukan berdasarkan Webinar oleh AGSI dengan AGPPKNI yang mengambil tema ‘Komunisme sebagai ancaman terbesar Indonesia’. Tetapi pemilihan tema berdasarkan ketertarikan guru-guru sejarah Banten terhadap sejarah lokal Banten, seperti peristiwa revolusi 1926 yang memiliki dua sudut pandang yang berbeda yaitu peristiwa revolusi 1926 dianggap pemberontakan komunis tetapi berdasarkan penelitian terbaru bawah peristiwa revolusi 1926 adalah perang sabil untuk melawan kolonialisme, sehingga diperlukan sebuah tinjauan kritis.”
Presiden AGSI Sumardiansyah Perdana Kusuma dalam sambutannya menyatakan, “Saya mengapresiasi AGSI Banten yang menggunakan atau mengankat tema kontroversial. Saya sendiri dalam membahas penganut paham komunis di Indonesia atau di Hindia Belanda ini dengan sebutan ‘orang-orang kiri’” Sumardiansyah melanjutkan, “ada beberapa poin penting. Pertama, pembelajaran sejarah dalam pembahasannya menggunakan hal atau peristiwa yang mutakhir, bukan yang terakhir. Untuk itulah dalam pembelajaran perlu pendekatan “pedagogik kritis. Sehingga kita tahu bahwa teks akan terlepas dari maknanya kalau tidak mengaitkan dengan konteksnya. Kedua, faktanya, ‘orang-orang kiri’ punya kontribusi dalam perjuangan bangsa Indonesia. Tapi tolong dibedakan antara Revolusi 1926 dengan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1948 dan tahun 1965. Dan ketiga, ketika mengaitkannya dengan pemahaman Islam, Ali Syariati pernah merumuskan bahwa ‘Islam’ dapat digunakan sebagai sarana perjuangan. Itulah yang disebut ‘Islam yang progresif’.
Sikap AGSI Terkait RUU HIP
Sikap AGSI secara tegas menolak Rancangan Undang-undang (RUU) HIP. “Kami menganggap RUU HIP ahistoris, karena tidak melihat konsensus Pancasila yang ditetapkan 18 Agustus 1945.” kata Sumardiansyah. “Selain itu ada masalah yang jauh lebih krusial saat ini, yaitu menangani pendemi covid19. Dan terakhir RUU HIP tidak mengakomodir Tap.MPR no.XXV Tahun 1966 yang menegaskan pelarangan paham marxisme-leninisme.”
Sumardiansyah berpesan, “Pada titik menghadirkan kajian ilmiah, disitulah webinar AGSI hadir. Tujuannya adalah membangun keutuhan Republik melalui sarana dialog, sehingga hasilnya terhadap guru-guru sejarah menjadi memiliki karakter dan memiliki pandangan yang jernih.”
Pemberontakan Komunis atau Perang Sabil?
Pada sesi pertama webinar, moderator Erwin Supriatna langsung to the point bertanya kepada Bonnie Triyana, “Bagaimana komentar Kang Bonnie terhadap judul webinar kami, apakah dapat ditarik pertanyaan seperti demikian?” Bonnie menjawab, “Guru sejarah adalah ujung tombak dalam pembelajaran sejarah. Kalian adalah orang-orang yang pertama kali menyampaikan fakta dari peristiwa sejarah langsung kepada anak didik, ya walaupun seminggu dua jam pelajaran juga apa cukup?” lalu, “ya apabila ditanya revolusi 1926 itu pemberontakan komunis atau perang sabil, dua-duanya benar.”
“Kalau untuk PKI sendiri sudah dibubarkan dan sudah tidak ada semenjak 12 Maret 1966. Namun karena kita selalu punya trauma. Karena dipengaruhi oleh perspektif pasca pemberontakan 1965, yang diwarnai penculikan dan pembunuhan jendral-jendral maka kita sering lupa bahwa Banten ini memang hotspot atau daerah panas perlawanan terhadap penguasa kolonial.” Bonnie melanjutkan, “coba kita lihat, pada 1854 ada pemberontakan KH Wakhia. Pada 1888 ada yang dikenal pemberontakan petani Banten. Pada 1926 ada pemberontakan komunis. Dan 1946 terjadi revolusi sosial. Untuk pemberontakan 1888 berdasarkan catatan sejarah kita dapat melihatnya dari macam-macam (perspektif – red.), ada faktor gunung meletus, ada pengikut tariqat, ada motivasi membangkitkan kesultanan, serta ada faktor pajak di situ.”
Berdasarkan pemahaman bahwa Banten sebagai hotspot, pemerintah kolonial memperketat pengawasan terhadap ‘muhammadans’ – sebutan bagi orang-orang Islam saat itu – di Banten. Karena protes dan keresahan rakyat Banten sudah tertahan lama.
Bonnie menegaskan, “Saya ingin mengajak kita mengamati Revolusi 1926 itu juga dikaitkan dengan konteks dunia. Pertama, Sarekat Islam (SI) Banten berkembang luas. Dimana berdasarkan keputusan Central Sarekat Islam pada 1916, tiap-tiap SI di daerah mempunyai sifat otonom. Kedua, Hasan Djajadiningrat juga seorang anggota bahkan Ketua SI Banten sekaligus anggota ISDV (Indiche Social Democratie Vereening – red.). Ketiga, di daerah Labuan berkembang pesat keanggotaan SI sebagaimana juga berkembang pesat di Serang. Keempat, SI di Semarang menjadi progresif. Henk Sneevliet ikut Kongres SI pada 1916. Di SI Semarang pun Sneevliet diminta menjadi wakil organisasi SI untuk cabang Eropa. Kelima, ujicoba pendekatan ISDV ke Indische Partij tidak berhasil karena Indische Partij bersifat elitis.”
Lebih spesifik lagi tentang persinggungan PKI dengan tokoh-tokoh ummat Islam di Banten, Bonnie menyampaikan, “dalam tujuan melawan kolonialisme, persinggungan itu tidak ada yang aneh.” Lebih lanjut, “bahkan dalam surat Sutan Sjahrir kepada istrinya, Sjahrir menuliskan orang-orang komunis asal Banten dan Minangkabau yang dibuang ke Digul berbeda dengan kaum komunis di Eropa. Mereka melawan karena melawan penjajahan atas dasar sentimen anti-kolonialisme.” Lalu, “Jadi buat saya jelas orang-orang yang terlibat pemberontakan 1926-1927 dan dibuang ke Boven Digul tidak membaca karya-karya Marx.”
Mufti Ali kemudian menjadi narasumber berikutnya. Ia menekankan, “Dalam pemberontakan atau revolusi 1926 kita sering membahas tokoh sentralnya, yaitu Kyai Tubagus Achmad Khatib. Tapi kita kurang mengetahui bahwa sosok yang jauh lebih penting dan sentral adalah Kyai Asnawi dari Caringin..” Mufti melanjutkan, “Jadi beliau lah (Kyai Asnawi dari Caringin – red.) yang berperan sebagai ideologi Revolusi 1926. Dan dengan demikian Revolusi 1926 dapat dikategorikan sebagai Perang Sabil.”
“Dari tahun 1920 sudah ada wacana PKI untuk bekerjasama dengan Islam. Dan saya menemukan catatan bahwa SI Banten anggotanya meningkat 16.000 orang dalam waktu 5 tahun. Namun, ulama-ulama di Banten dalam posisi tidak dari awal teryakinkan dengan ide-ide SI di Banten. Dan sosok Kyai Asnawi dari Caringin apabila akan mengambil keputusan tentu bukan bertanya kepada Tubagus Alipan atau Achmad Bassaif tapi kepada anak menantu. Dalam hal ini menantu beliau adalah Tubagus Achmad Khatib.”
Mufti melanjutkan, “Langkah pintar dari pihak PKI adalah mengutus Achmad Bassaif ke Achmad Khatib, Ki Adeng, dan Ki Med untuk bergabung dengan agenda PKI. Achmad Bassaif ini seorang keturunan Arab, dan ibundanya berasal dari Banten. Achmad Bassaif sendiri mendapatkan surat resmi dari PKI dan dalam mengajak tokoh-tokoh ulama di Banten, ia menghindari perbedaan-perbedaan yang prinsip dari komunisme dan ajaran Islam.”
Mufti menekankan keterkaitan antara ketokohan ulama dengan ummat Islam para pengikut tariqotnya. Mufti bahkan mengusulkan istilahnya sendiri, “dapat dibilang sangat menyatu antara ummat Islam dengan pemimpin ulama-ulamanya. Dapat dibilang ‘nyementif’, saking sangat merekat religiusitasnya.”
Mengecek Keterkaitan dan Titik Temu Kepentingan Politis
Sesi tanya jawab dibuka sebanyak dua sesi. Sesi pertama dimulai dari pertanyaan Odie el Hasan dari Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Banten menanyakan apakah PKI saja yang paling menonjol pada Revolusi 1926. Lalu Febry Satya menanyakan mengapa Tan Malaka tidak merestui Revolusi 1926. Dan Melani Agustin dari live youtube bertanya, jika komunisme berbeda dengan Islam mengapa bisa bergabung.
Bonnie menjawab tentang alasan Tan Malaka tidak merestui. “Jadi marxisme itu ilmu pengetahuan. Komunisme juga ilmu pengetahuan. Revolusi juga ada tahapannya, jadi ada kondisi prasyarat objektif dari masyarakat untuk revolusi bisa meletus. Menurut Tan Malaka kondisinya belum mencapai tahap itu.” Kemudian, “ misalkan satu, ketidakpercayaan terhadap pemimpin. Kedua, rakyat merasa kecewa. Ketiga adanya suatu organisasi yang memimpin massa untuk aksi. Ketidakpercayaan sudah ada, organisasi yang memimpin sudah ada, namun rakyat belum mencapai titik tertinggi kekecewaannya. Kritik Tan Malaka ada dalam bukunya ‘Massa Aksi’.”
“Saya agak berbeda sedikit dengan Kang Mufti untuk tokoh Achmad Bassaif yang berusaha meyakinkan keluarga Caringin. Saya pikir dalam konteks 1926 dan tradisi memberontak rakyat Banten, tidaklah aneh kalau tokoh seperti Kyai Asnawi dari Caringin memberikan doa atau bahkan wafak kepada massa untuk melawan pemerintah kolonial. Karena kita dapat melihat kekecewaan-kekecewaan rakyat.”
Lalu menjawab persinggungan komunisme dan Islam, sebenarnya bukan hal yang aneh. Kepentingannya melawan otoritas kolonial, yang kemudian membuat tokoh-tokoh Islam yang berlabuh dengan satu perahu yang sama dengan kaum-kau
m ‘kiri’. Memang kita sulit membayangkan ;’jiwa zaman’ nya. Jadi titik temunya kepentingan politis, dan kemudian murni politik praktis. Saya sih setuju dengan istilah dari Dawam Rahardjo, ini kamu komunis dan tokoh-tokoh Islam ‘ketemu di tengah jalan’.”
Mufti Ali menjawab, “Kalau menjawab apakah hanya ada gerakan komunis pada 1926, tentu tidak. Tidak hanya satu-satunya SI Merah, atau yang nanti menjadi PKI, yang menancapkan pergerakannya di Banten. Jadi saya punya semacam teori sendiri bahwa paham komunisme yang dibawa Tan Malaka tidak laku di Banten.” Lalu, “ Jadi Tubagus Achmad Khatib sebagai Residen Banten pasca kemerdekaan tidak galak terhadap Ce Mamat tapi beliau tidak setuju terhadap pemikiran-pemikiran Ce Mamat, beliau mendepak Ce Mamat dan Tubagus Alipan.” Dan “Melihat kondisi Pemberontakan Komunis tahun 1948 dan 1965, saya tidak menemukan ada gejolak di Banten yang bereaksi terhadap gerakan komunis tersebut. Karena memang tokoh-tokoh ulama tidak ada yang di belakang pemberontakan-pemberontakan itu di Banten.”
Mufti mengelaborasi, “terkait dengan gerakan-gerakan semasa 1945, konteksnya adalah Banten berada di belakang Republik (Indonesia – red.). Bisa dibayangkan pasukan Hizbulloh dari Bogor Barat yang merupakan tentara non-organik bergabung dengan Brigade Tirtayasa karena melihat sosok Tubagus Achmad Khatib.” Mufti meyakinkan, “Sebaran pengaruh dan jaringan dari murid-murid Kyai Asnawi dari Caringin memang begitu kuat, karena ia secara organisasi tariqot memang seorang mursyid. Militansi pengikut taqriqot ini lain, dan itulah yang saya pikir luput dari pengamatan Michael C.William, karena saya anggap C. Wiliiam tidak mengerti alam pikiran dan hati orang Banten.”
Penegasan dari Mufti Ali meyakinkan kita bahwa pergerakan sosial di Banten, khususnya Revolusi 1926 sampai Era Kemerdekaan 1945 tidak dapat dilepaskan dari kharisma serta otoritas Kyai, yang pasca keruntuhan Kesultanan Banten menerima ‘tongkat otoritas’ baik secara spiritual maupun intelektual bagi ummat muslim.
Pada sesi kedua ada pernyataan dari Nur Indah dari SMAN 1 Bukittinggi. Lalu ada pertanyaan dari Marian Afif tentang hakikat membahayakan dari PKI, dan Panji Saputra dari Yogyakarta, tentang apakah ada keterlibatan Mathaul Anwar dalam Revolusi 1926.
Mufti menerangkan, “Saya sedang meneliti Kyai Mas Abdurrohman sebagai tokoh pendiri Mathaul Anwar, jadi cukup mengetahui. Secara organisasi Mathaul Anwar tidak terlibat, tapi secara orang per orang banyak sekali orang Mathaul Anwar yang terlibat dalam Revolusi 1926. Bahwa dalam penumpasan oleh pasukan Belanda salah seorang tokoh Mathaul Anwar, salah satu tokoh Mathaul Anwar juga tewas ditembak oleh pasukan Belanda.” Lalu, dari unsur bahaya PKI, “saya melihat Pemerintah Kolonial melakukan tindakan pre-emptive dengan membatasi pemberontakan. Untuk partisipan Revolusi 1926, sampai 99% terkait dengan Kyai Asnawi dari Caringin.”
Closing statement dari Bonnie Triyana, “Yang terpenting dalam pembelajaran sejarah, ketika menjelaskan ‘sejarah gerakan kiri’ baik di Banten maupun Hindia Belanda ada konteks historis yang perlu dijelaskan. Tujuan belajar sejarah yang pertama menurut saya adalah menciptakan daya pikir kritis pada anak didik kita, sehingga mampu berpikir secara logis dan rasional.”
Closing statement dari Mufti Ali, “Saya menolak anggapan bahwa orang Banten itu penuh dengan dunia mistisisme dan perdukunan. Stigma negatif ini menyesatkan, karena masa Kesultanan Banten menjalin kerjasama dan kantor dagang internasional. Hanya saat Banten didominasi oleh ‘orang-orang luar’ pasca kemerdekaan maka muncul stigma-stigma negatif. Ini juga kritik terhadap peneliti-peneliti Barat yang meneliti Banten dari ‘luar’.”
(Ahmad Muttaqin, Pengurus AGSI Banten)